RRI

  • Beranda
  • Berita
  • Deklarasi Menteri WWF Soroti Air Jadi Alat Perang

Deklarasi Menteri WWF Soroti Air Jadi Alat Perang

22 Mei 2024 00:24 WIB
Deklarasi Menteri WWF Soroti Air Jadi Alat Perang
Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Tri Tharyat saat memberikan keterangan kepada wartawan di media center pada World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Selasa (21/5/2024).(Foto:rri.co.id/Charlie Lopulua)

KBRN, Nusa Dua: World Water Forum (WWF) ke-10 menghasilkan Deklarasi Menteri, yang turut menyoroti penggunaan air sebagai alat dalam situasi perang. Usulan yang tertuang dalam poin PP9 ini sempat mengalami penolakan dari sejumlah negara. 

“Ini salah satu isu yang cukup ramai dibahas dalam negosiasi, intinya dalam proses perang kita harus menghormati konvensi Jenewa mengenai hukum perang. Memang ada beberapa negara mengusulkan terminologi weaponisation of water (persenjataan air-red),” kata Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Tri Tharyat, ditemui usai konferensi pers di Media Center WWF ke-10, Nusa Dua, Bali, Selasa (21/5/2024). 

“Saya pahami usulan tersebut tidak disetujui beberapa negara lainnya. Oleh karena itu, kita mencari solusi kita lakukan riset dan memperoleh dari keputusan Sidang Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB," ujarnya.

Adapun PP9 berbunyi “Sangat prihatin dengan kurangnya akses terhadap layanan air dan sanitasi yang memadai dalam keadaan darurat. Termasuk, pada saat terjadi bencana alam dan bencana akibat ulah manusia”.

“Serta dalam situasi konflik bersenjata dan menekankan pentingnya akses terhadap air minum dasar dan layanan sanitasi di negara-negara yang terkena dampak. Dalam prosesnya sebelum disahkan rancangan deklarasi sempat ditolak oleh sejumlah negara.”

Tri menjelaskan PP9 dimaksudkan agar semua negara harus menahan diri untuk menutup akses air dan kehidupan. Meski dalam kenyataannya menurut Tri, kenyataan di lapangan hal ini digunakan oleh siapa pun yang berperang sebagai alat penekan. 

“Ini tentunya kalau terjadi, kita sesalkan, tapi upaya penghormatan terhadap hukum internasional khususnya hukum perang dalam kondisi konflik. Itu cukup panjang (deklarasi) pembahasannya di Paris,” ucapnya.

Negara-negara yang sempat menolak rancangan deklarasi disebut tidak hadir dalam pembahasannya sebanyak tiga kali di markas UNESCO, Paris. Padahal, berdasarkan kesepakatan para peserta yang hadir pada pertemuan terakhir Maret lalu, konsultasi rancangan deklarasi telah ditutup.

“Kami melihat negara-negara tersebut tidak hadir di Paris, sementara kita undang semua negara. Tiga kali pertemuan lalu mereka datang ke sini dan ebetulnya mereka tidak menolak, hanya ingin menambahkan,” ucap Tri. 

“Karena, hasil konsultasi sangat panjang dan dapat diterima semua negara. Menurut kami tidak terlalu kontroversial juga, tapi lebih pengayaan terhadap isu deklarasi.”

Deklarasi Menteri tidak secara spesifik merujuk pada perang di Gaza, saat mengusulkan poin PP9. Namun, merujuk pada berbagai kejadian yang ditimbulkan akibat digunakannya air sebagai alat perang. 

“Sebetulnya tidak (mengarah pada situasi di Palestina-red), karena di tempat lain juga sering atau pernah dilakukan. Kalau berdasarkan sejarah katanya dulu bangsa Inca meninggalnya karena diracunnya sungai, artinya airnya digunakan sebagai alat,” kata Tri menjelaskan. 

Pewarta: Jayanti Retno Mandasari
Editor: Ari Dwi P
Sumber: RRI

Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber (ANTARA, RRI atau TVRI).